![]() |
| Ilustrasi perbedaan suasana hati antara gelisah dan tenang karena syukur.Dok:Goggle Foto |
LPMH|Jakarta — Fenomena meningkatnya stres, kecemasan, dan rasa kosong di tengah kecanggihan teknologi memunculkan kembali perhatian pada pesan spiritual dalam Al-Qur’an. QS. Al-Baqarah ayat 152 kini banyak disorot sebagai pedoman kebahagiaan yang relevan bagi masyarakat modern.
Allah berfirman,
فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ ࣖ
Artinya: “Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152).
Meski tidak memiliki sabab nuzul khusus, ayat ini memiliki keterkaitan erat dengan penjelasan sebelumnya mengenai nikmat petunjuk dan pergantian kiblat. Para ahli tafsir menilai ayat ini sebagai respons Allah terhadap besarnya nikmat spiritual yang diberikan kepada umat Islam, yang menuntut manusia untuk membalasnya dengan zikir dan syukur.
Sejumlah mufassir klasik memberi perhatian mendalam terhadap pesan tersebut. Al-Ṭabari menegaskan bahwa perintah fadhkurūnī bukan sekadar menyebut nama Allah, tetapi menghadirkan kesadaran bahwa seluruh perjalanan hidup berada dalam pengawasan-Nya. Ibn Kathir menambahkan bahwa zikir meliputi hati, lisan, dan perbuatan, dan ia mengutip hadis qudsi: “Barang siapa mengingat-Ku, Aku mengingatnya.” Sementara Al-Qurṭubi menekankan bahwa syukur bukan hanya ucapan, tetapi juga penggunaan nikmat dengan benar. Fakhruddin al-Razi bahkan menyebut ayat ini sebagai terapi spiritual untuk mengatasi kegelisahan eksistensial.
Sejumlah penelitian psikologi modern turut memperkuat relevansi ayat tersebut. Riset menunjukkan bahwa kebiasaan bersyukur dapat menurunkan kecemasan, meningkatkan kualitas tidur, dan menstabilkan emosi. Syukur terbukti merangsang pelepasan hormon seperti dopamin dan serotonin yang berperan dalam menciptakan perasaan bahagia. Para psikolog menyebut kondisi sebaliknya sebagai psychological scarcity, yaitu keadaan ketika seseorang selalu merasa kurang meski memiliki banyak hal.
Fenomena ini sesuai dengan konsep hedonic treadmill, di mana manusia terus mengejar kepuasan baru tanpa pernah merasa cukup. Menurut para pakar keagamaan, Al-Qur’an menempatkan zikir sebagai sumber ketenangan, dan syukur sebagai kunci rasa cukup. Hilangnya dua hal ini, menurut mereka, menjadi salah satu penyebab utama munculnya rasa gelisah dalam kehidupan modern.
Ayat ini juga dinilai memberikan panduan praktis untuk meraih ketenangan. Beberapa langkah yang disorot antara lain menyediakan waktu untuk zikir dan refleksi, membiasakan diri menyadari nikmat kecil setiap hari, berhenti membandingkan diri dengan orang lain, serta mengubah cara pandang terhadap harta sebagai amanah, bukan ukuran kebahagiaan.
