![]() |
| Genangan air menutupi akses jalan utama di desa Blang Pulo, Kota Lhokseumawe. (Dok. Ist) |
Lhokseumawe -- Genangan air yang kembali muncul di sekitar Masjid Blang Pulo, Kecamatan Muara Satu, pada Kamis malam (13/11/2025) bukan sekadar gangguan biasa. Jalan yang tergenang menyebabkan kemacetan parah dan membahayakan pengendara. Kondisi ini mencerminkan kegagalan Pemerintah Kota (Pemkot) Lhokseumawe dalam menangani persoalan dasar infrastruktur kota.
Ketua Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPMH) Hukum Universitas Malikussaleh, Muhammad Furqan, mengkritik keras sikap tidak peduli Pemkot terhadap persoalan tersebut.
"Ini masalah yang terus berulang. Setiap kali hujan turun, Blang Pulo pasti tergenang. Jalan macet, aktivitas warga terganggu, bahkan risiko kecelakaan meningkat. Namun, Pemkot tetap diam tidak ada perencanaan serius, tidak ada tindakan nyata. Ini bukti kelalaian dan ketidakseriusan pemerintah dalam menanggulangi banjir," tegas Furqan.
![]() |
| Muhammad Furqan, ketua umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPMH) Hukum, Universitas Malikussaleh. |
"Setiap hujan deras adalah ujian nyata kesiapan pemerintah terhadap keselamatan warganya. Keterlambatan seperti ini sudah tidak bisa ditoleransi lagi," ujarnya.
Menurutnya, genangan air yang terus berulang bukan hanya menimbulkan kemacetan dan meningkatkan risiko kecelakaan, tetapi juga mempercepat kerusakan jalan, mengganggu ekonomi warga, serta menjadi sumber berbagai penyakit.
Furqan menuntut evaluasi menyeluruh terhadap sistem drainase, perbaikan titik-titik rawan genangan, dan penataan ulang saluran air agar masalah klasik ini tidak terus terulang setiap musim hujan.
Warga Lhokseumawe kini menantikan keseriusan dan tanggung jawab pemerintah daerah. Saatnya Pemkot menunjukkan komitmen nyata dalam membenahi tata kelola lingkungan dan infrastruktur kota.
Setiap kali curah hujan tinggi mengguyur kawasan Blang Pulo, genangan air kembali menjadi pemandangan “biasa”. Namun di balik genangan itu tersimpan persoalan serius yang belum terselesaikan. Tumpahnya air hujan bukan semata fenomena alam, melainkan cerminan lemahnya sistem drainase dan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kebersihan lingkungan.
Saluran air yang tersumbat sampah, pembangunan tanpa perencanaan tata kota yang matang, serta minimnya area resapan membuat air hujan tidak memiliki tempat mengalir. Akibatnya, jalan berubah menjadi kolam, aktivitas warga terganggu, dan ancaman penyakit mulai mengintai.
Fenomena ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi pemerintah dan masyarakat. Bukan curah hujan yang harus disalahkan, melainkan perilaku manusia yang abai terhadap lingkungan. Selama pengelolaan air dan tata kota tidak dibenahi, genangan air akan terus menjadi simbol kegagalan dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan urbanisasi yang kian pesat.
Pemerintah Kota Lhokseumawe seolah menutup mata terhadap persoalan yang tak kunjung dibenahi ini. Saatnya tindakan nyata diutamakan, bukan sekadar janji yang berulang setiap musim hujan datang. Tutup Furqan.

