Kemanusiaan yang Terkubur di Tengah Genosida Gaza
Gaza hari ini menjadi potret paling kelam dari runtuhnya hukum humaniter internasional. Sejak Oktober 2023, serangan Israel telah mengirimkan sedikitnya 61.300 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan Palestina per 8 Agustus 2025. ratusan ribu lainnya terluka, kehilangan tempat tinggal, atau hidup mengungsi di tengah-tengah mengumpulkan kota yang hancur. Hukum Humaniter Internasional (HHI) sejatinya hadir untuk melindungi masyarakat sipil di wilayah konflik, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (2) Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977 yang secara tegas melarang serangan yang menjadikan warga sipil sebagai objek utama. Namun fakta di lapangan membuktikan sebaliknya: sebagian besar korban di Gaza adalah warga sipil tak bersenjata yang seharusnya dilindungi.
Kerusakan material di wilayah ini pun terjadi secara masif. Menurut laporan GC2RP, sekitar 70% infrastruktur Gaza hancur, termasuk rumah sakit, jaringan udara, listrik, rumah ibadah, dan fasilitas vital lainnya yang mendapat perlindungan khusus dalam Pasal 54 dan Pasal 56 Protokol Tambahan I. Pasal 54 ayat (1) melarang penggunaan kelaparan terhadap penduduk sipil sebagai metode peperangan, sementara Pasal 56 ayat (1) melarang serangan terhadap pekerjaan dan instalasi yang mengandung kekuatan berbahaya seperti meningkatkan listrik jika dapat membahayakan warga sipil. Meski begitu, blokade bantuan kemanusiaan yang dilakukan memperparah penderitaan, dengan hanya sekitar 14% dari kebutuhan bantuan harian yang berhasil masuk, sering kali menyebabkan kekerasan terhadap warga yang mengantri. Kondisi ini secara jelas tercantum dalam Pasal 70 Protokol Tambahan I yang mewajibkan pihak-pihak dalam konflik memfasilitasi pengiriman bantuan kemanusiaan dengan cepat dan tanpa hambatan, sekaligus bertentangan dengan berbagai resolusi Dewan Keamanan PBB yang keseluruhan hal yang sama.
Ironisnya, di tengah bukti-bukti pelanggaran yang begitu nyata, tidak ada penegakan atau sanksi tegas terhadap para pelaku kejahatan perang tersebut. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) memang memiliki mandat untuk mengadili individu yang bertanggung jawab atas kejahatan perang, namun kewenangannya terbatas karena Israel bukan negara pihak Statuta Roma. ICC hanya dapat bertindak jika mendapat mandat dari Dewan Keamanan PBB, yang dalam kasus Gaza sering terhambat oleh veto, khususnya dari Amerika Serikat sebagai sekutu dekat Israel. Di sisi lain, Mahkamah Internasional (ICJ) berwenang mengadili negara atas pelanggaran hukum internasional, dan meskipun telah menerima gugatan serta mengeluarkan perintah sementara terhadap Israel, pelaksanaan putusan tersebut sepenuhnya bergantung pada kemauan politik negara-negara anggota PBB, yang hingga kini belum menunjukkan langkah tegas.
Semua ini menjadikan Gaza bukan hanya medan konflik, melainkan simbol kegagalan total sistem hukum internasional. Dunia menyaksikan penderitaan yang terjadi, namun mekanisme hukum yang ada di hadapan kekuatan politik dan strategi kebohongan. Membiarkan Gaza berarti mengirim pesan berbahaya: hukum dapat diabaikan jika pelakunya cukup kuat dan memiliki musuh yang berpengaruh. Oleh karena itu, kebangkitan kembali penegakan hukum internasional bukan semata-mata keharusan politik, melainkan tuntutan moral yang tidak bisa ditawar. Jika dunia terus diam, kita bukan hanya kehilangan sebuah kota, tetapi juga kehilangan kemanusiaan itu sendiri.
OLEH HUSNUR RIZAL