AMAN Dorong Pengakuan Kekhususan Hukum Aceh dalam Revisi RUU KUHAP

Muhammad Fadli Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikusaaleh. - foto : dok. yt TVP Parlemen


LPMH|JAKARTA – Aliansi Mahasiswa Nusantara (AMAN) mendesak Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) agar mengakomodasi kekhususan hukum Aceh dalam proses revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Dorongan ini disampaikan dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI, Rabu (15/10/25).

Perwakilan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Muhammad Fadli, menegaskan bahwa pengakuan terhadap kekhususan Aceh penting untuk menciptakan kepastian hukum dalam pelaksanaan qanun yang selama ini berjalan paralel dengan sistem hukum nasional.

“Kami berharap RUU KUHAP dapat mengakomodasi kekhususan Aceh agar tidak terjadi tumpang tindih antara hukum nasional dan qanun daerah,” ujar Fadli.

Ia mencontohkan, dalam kasus tindak pidana ringan yang telah diselesaikan melalui peradilan adat di tingkat gampong, seharusnya perkara tersebut tidak perlu dilanjutkan ke proses hukum formal. Fadli merujuk pada Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008, yang mengatur 18 jenis tindak pidana ringan dapat diselesaikan melalui mekanisme adat.

Namun dalam praktiknya, kasus yang sudah selesai di peradilan adat masih kerap dilaporkan ke kepolisian. Aparat penegak hukum pun tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk menolak laporan tersebut. Kondisi ini, menurutnya, menimbulkan ketidakpastian hukum di tengah masyarakat.

“Konsepnya jelas. Kalau perkara sudah selesai di peradilan adat, seharusnya tidak dilanjutkan lagi ke aparat penegak hukum. Tapi kenyataannya, laporan baru tetap masuk dan aparat tidak punya pegangan hukum untuk menolaknya,” tegas Fadli.

Karena itu, ia mendorong agar revisi RUU KUHAP mencantumkan klausul yang secara tegas menyatakan bahwa perkara yang telah diselesaikan melalui peradilan adat tidak dapat diproses ulang oleh aparat hukum formal. Hal ini penting untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat Aceh.

Selain itu, Fadli juga menyoroti tumpang tindih dalam penerapan dua instrumen hukum pidana di Aceh, yakni KUHP nasional dan Qanun Jinayah yang mengatur hukum pidana Islam, termasuk hukuman cambuk. Ia menilai perlu ada aturan teknis yang jelas agar aparat penegak hukum tidak bingung saat menghadapi perkara yang diatur oleh kedua sistem hukum tersebut.

“Selama ini, aparat di Aceh menghadapi dua sistem hukum: KUHP dan Qanun Jinayah. Kami berharap RUU KUHAP memberikan panduan yang jelas agar tidak terjadi tafsir ganda dalam penegakan hukum,” katanya.

Fadli menambahkan, kejelasan hukum tersebut sangat penting untuk mencegah ketidakadilan, terutama dalam kasus serupa yang dapat berujung pada putusan berbeda di wilayah yang berbeda.

“Tidak boleh ada satu perkara yang di satu daerah dihukum berdasarkan Qanun Jinayah, sementara di daerah lain menggunakan pasal KUHP. Itu tidak adil dan membingungkan masyarakat,” tegasnya.

Sebagai informasi, RUU KUHAP menjadi salah satu prioritas legislasi nasional DPR RI tahun 2025 dan ditargetkan rampung sebelum 2026. Revisi ini penting karena berkaitan erat dengan penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Saat ini, proses pembahasan masih berlangsung dan DPR terus menghimpun masukan dari berbagai kalangan melalui mekanisme RDPU.


Penulis:Furqan 

Editor:Raziq

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama